Tafsir
Surah Al-Fatihah
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, Rasulullah SAW
bersabda : "Demi (Allah) yang jiwaku berada di tanganNya, tidaklah Allah
menurunkan satu surah pun yang semisal dengan Surah Al-Fatihah, baik itu di
Taurat, Injil maupun di Al-Qur'an".
Surah Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan
termasuk surah Makkiyah, menurut pendapat Abdullah bin Abbas, Qatadah, dan Abul
Aliyah.
Dinamakan Al-Fatihah yang bererti 'Pembuka', kerana
surah ini merupakan pembuka (permulaan) dari Al-Qur'an secara tulisan.
Dinamakan juga dengan Ummul Qur'an (induk
Al-Qur'an), kerana seluruh Al-Qur'an berkisar pada pokok-pokok yang dikandungnya.
Dinamakan juga dengan Ash-Shalah, kerana ia
merupakan rukun shalat. Shalat tidak sah tanpanya. Dinamakan dengan Asy-Syifaa',
yang bererti ubat, kerana Al-Fatihah boleh dijadikan ubat untuk dua jenis
penyakit, zahir maupun batin, dan masih ada lagi beberapa nama lainnya untuk surah
Al-Fatihah ini.
TAFSIR AYAT
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaa'iry, dalam Aisaru
At-Tafsirnya menjelaskan makna ayat-ayat dari surah yang mulia ini. Beliau
menulis, Allah SWT memberitahukan bahawa segala macam pujian, baik itu berupa
sifat keagungan atau kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Sebab, Dia-lah Rabb
dari segala sesuatu, Pencipta dan Pemiliknya. Kewajiban kita adalah memujiNya.
Kemudian Allah SWT mengagungkan diriNya sendiri,
bahwa Dia-lah yang menguasai segala yang
ada di hari kiamat. Pada hari itu, tidak seorang pun berkuasa atas orang lain.
Dia (Allah SWT)-lah satu-satunya pemilik dan Penguasa.
Selanjutnya Allah SWT mengajarkan kepada kita,
suatu cara agar permintaan dan doa kita diterima/dikabulkan. Dengan kata lain,
Allah SWT berfirman : "Pujilah Allah dan agungkanlah Ia, serta
konsistenlah dengan hanya beribadah dan meminta pertolongan kepadaNya, bukan
kepada yang lain."
Lalu dengan pengajaran dari Allah SWT, seorang
hamba akan meminta kepada Allah SWT untuk dirinya dan saudara-saudaranya, agar
hidayah yang Allah SWT berikan kepada mereka dilanggengkan, sehingga tidak
terputus. Akhirnya, setelah mereka meminta ditunjukkan kepada
'jalan yang lurus', Allah SWT menjelaskan, yang dimaksud dengan jalan yang
lurus adalah jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberi nikmat, yang itu
merupakan manhaj (konsep) yang lurus, yang akan mengantarkan seorang hamba
kepada keredhaan Allah SWT dan jannahNya. Jalan itu adalah Islam, yang tegak
berdiri di atas paksi iman, ilmu dan amal, disertai dengan menjauhi kemusyrikan
dan kemaksiatan. Jalan itu bukanlah jalannya orang-orang yang dimurkai oleh
Allah SWT dan bukan pula jalan mereka yang sesat.
Ibnu Katsir r.a. menjelaskan, bahawa yang dimaksud
dengan orang-orang yang diberi nikmat adalah orang-orang yang disebut oleh
Allah SWT dalam surah An-Nisaa' ayat 69. Mereka adalah para nabi, shiddiqiin,
syuhada dan shalihiin.
Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang
mendapatkan murka adalah orang-orang Yahudi. Mereka dimurkai, kerana mereka
tahu akan kebenaran, tetapi mereka berpaling darinya.
Adapun orang-orang yang sesat adalah orang-orang
Nasrani. Mereka bodoh dan beribadah menurut kemahuan mereka sendiri, tanpa
ilmu. Sebenarnya, baik Yahudi maupun Nasrani, semuanya sama-sama mendapat murka
dan tersesat. Hanya saja, sifat khusus 'mendapatkan murka' diperuntukkan bagi
Yahudi, kerana mereka tidak mahu beramal dan sifat khusus 'tersesat'
disandangkan kepada orang-orang Nasrani kerana tidak mahu berilmu. Maka kalau
kita tidak mahu berilmu atau beramal bererti sejenis dengan Nasrani atau
Yahudi. Na'udzu billah....
KANDUNGAN AYAT
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah r.a. menyatakan bahwa surah
Al-Fatihah ini mengandungi pokok-pokok
di NUR Islam secara global tapi sempurna. Ada tiga hal pokok,
iatiu:
1.Tauhid
Melalui surah ini, Allah SWT 'mengenalkan diri'
kepada makhluk-makhlukNya dengan lima nama, yaitu Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan Al-Malik.
Allah
Nama 'Allah' adalah nama yang mewakili seluruh
Al-Asmaa' Al-Husna
(nama-nama baik yang berjumlah 99,
yang Allah SWT sifatkan kepada
diriNya sendiri) dan Ash-Shifat
Al-Ulya (sifat yang tinggi/mulya). Nama ini
menunjukkan IlahiyahNya. Sifat Ilahiyah
adalah sifat kesempurnaan yang
jauh dari tasybih (penyerupaan), tamtsil (permisalan),
kekurangan dan
cacat. Seluruh asma' ul-husna adalah perincian dari
sifat ini. Nama 'Allah'
menunjukkan
bahwa Allah SWT adalah Al-Ma'luuh, yang diibadahi.
Semua beribadah kepadaNya dengan penuh
ketundukan dan kecintaan
dan pengagungan.
Ar-Rabb
Ar-Rabb
ertinya penguasa, yang mengatur segalanya. Secara khusus,
semua sifat fi'il (perbuatan) dan
qudrat (kekuasaan) dan segala yang
berkenaan dengan kepengaturan alam
berhubungan erat dengan nama
Ar-Rabb. Allah SWT adalah Rabb segala sesuatu.
Penciptanya dan yang
Maha Mampu untuk melakukan apa saja. Tidak ada
sesuatu pun yang
keluar dari rububiyyah-Nya.
Ar-Rahman
Nama
'Ar-Rahman' adalah pecahan kata 'rahmah', untuk menunjukkan
intensitas yang sangat. Selanjutnya nama Ar-Rahman
menunjukkan
bahawa segala sifat ihsan, kasih, sayang, lembut,
derma, pemurah dan
baik, ada pada Allah SWT. Sifat Rahman Allah SWT
yang dikandung oleh
nama Ar-Rahman ini berlaku untuk semua makhluk,
yang beriman
mahupun yang kafir. Rahmah di sini meliputi segala
hal yang berkenaan
dengan penghidupan/kelangsungan hidup.
Ar-Rahim
Seperti
halnya 'Ar-Rahman', Ar-Rahim adalah pecahan kata 'rahmah'.
Bezanya, sifat rahmah Allah SWT yang
terkandung dalam nama ini
dikhususkan untuk mereka yang beriman sahaja, di
akhirat. Allah SWT
berfirman dalam Quran pada surah. Al-Ahzaab : ayat 43
yang ertinya :
"Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang
yang beriman."
Al-Malik
Al-Malik
ertinya raja atau penguasa. Penguasa
atas segalanya.
Dikhususkannya hari pembalasan
sebagai milik atau kekuasaan Allah
SWT dalam surah ini, bukanlah bererti dunia tidak
termasuk milik dan kekuasaan Allah SWT. Sebenarnya Allah SWT yang menguasai
hari dunia dan hari pembalasan. Adapun pengkhususan di
sini, kerana pada hari pembalasan
nanti, tidak ada seorang pun yang akan mengaku atau mendakwakan diri sebagai pemilik/penguasanya.
Juga, pada hari itu tidak ada seorang pun yang berbicara, kecuali telah
mendapat izin dariNya.
Seorang yang membaca dan memahami makna surah
ini, mau tidak mau
dia telah mengitsbatkan (menetapkan) tiga jenis
tauhid, rububiyah,
uluhiyah dan asma' wa ash-shifat. Ketika ia membaca
: "Al-Hamdu lillahi
rabbil aalamiin", bererti ia telah memuji
Allah SWT. Pujian yang mencakupi
keagungan dan ketinggian sifat-sifat
Allah SWT. Pujian yang berkenaan dengan
asma' wa ash-sifat tanpa taq'wil,
tamtsil dan takyif (menanyakan bagaimana hal itu
boleh terjadi). Pun surah
ini memuat bebarapa asma yang semuanya menunjukkan
sifat
seperti tersebut di atas.
Lalu seseorang yang memuji, pastilah
seseorang yang mencintai dan ridha.
Orang yang membaca 'alhamdu lillah rabbil aalamiin'
secara tidak langsung menyatakan cinta dan keredhaannya kepada Allah SWT. Cinta adalah
asas dibangunnya tauhid uluhiyyah. Juga ayat 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin'. Seseorang yang membacanya
sama saja telah berikrar, selalu akan berkonsisten dalam
beribadah kepadaNya dan akan minta pertolongan hanya kepadaNya. Yang tersisa
tinggallah perbuatan, yang akan membuktikan benar atau tidak pengakuan/ucapannya
tersebut. Adapun tauhid rububiyah, seseorang yang
mengingkarinya tidak akan membaca surah ini, kecuali hanya sebatas batang
lehernya saja.
2.Tentang hari akhir
Ayat
'Maaliki yaumiddin' menunjukkan bahwa setelah berakhirnya
kehidupan di dunia ini, akan ada pembalasan.
Di sana, hanya Allah-lah
yang berkuasa dan akan menghakimi
seluruh manusia dengan keputusan
yang
paling adil. Keputusan berkenaan dengan pembalasan atas segala
amal yang telah diperbuat oleh manusia.
Amal yang baik akan dibalas
dengan kebaikan dan perbuatan dosa
akan dibalas dengan siksaan,
kecuali
bagi yang mendapatkan maghfirat (ampunan) dariNya.
3.Tentang kenabian
Surah Al-Fatihah ini mengitsbatkan
kenabian dari berbagai arah, diantaranya:
Kewujudan Allah SWT
sebagai Rabbul alamiin. Maka, tidaklah padan bagi Allah
SWT untuk
membiarkan begitu saja hamba-hambaNya, tanpa memberitahu hal-hal
yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat. Jika Allah SWT
membiarkan
mereka tanpa mengutuskan nabi, tentulah sifat rububiyyah tidak ada padaNya.
Allah
SWT adalah Al-Ma'luuh (yang diibadahi). Hamba-hambaNya tidak akan
pernah tahu bagaimana cara beribadah kepadaNya, kecuali melalui
para
rasulNya. Disebutkannya keberadaan hari
pembalasan atas amal. Tentunya Allah
SWT tidak akan mengazab seseorang
pun jika belum menyampaikan hujjah
melalui lisan para rasulNya. Terklasifikasikannya
hamba-hambaNya menjadi
orang-orang yang
diberi nikmat dan orang-orang yang sesat. Klasifikasi ini
sangatlah berkaitan
dengan tersampainya kebenaran. Sebagian hambaNya mahu
mendengar
dan mengamalkannya, sebahagian yang lain
mendengar tetapi tidak
mahu mengamalkannya dan sebahagiannya lagi
beramal semahunya tanpa mahu
mendengar kebenaran. Yang pasti
kebenaran telah disampaikan oleh
para rasul Allah SWT.
MEMBACA AMIN
Disunnahkan
bagi orang yang membaca surah Al-Fatihah di dalam mahupun di luar
solat untuk membaca 'amiin', apabila
telah menyelesaikannya. Kata 'amiin' bererti
'Ya Allah,
kabulkanlah'.
Oleh :
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia


SURAH
AL-FAATIHAH : PERSOALAN HUKUM MEMBACANYA

(Dengan nama
Allah, Segala puji bagi Allah, Selawat dan salam ke atas Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat dan para pengikut Baginda)
Kesempurnaan
membaca surah al-Fatihah dalam sembahyang sangatlah dituntut kerana ianya adalah salah
satu daripada rukun yang wajib dalam sembahyang.
Surah ini sangat
mulia sehingga dikatakan bahawa seluruh ilmu-ilmu al-Qur’an, iaitu tauhid,
ibadah, nasihat serta peringatan terkandung dalam surah yang pendek ini. Antara
kemuliaannya lagi ialah Allah Subhanahu wa Ta‘ala
membahagikan surah ini kepada dua bahagian; satu bahagian untukNya dan satu
bahagian lagi untuk hambaNya, begitu juga ibadah sembahyang tidak akan diterima
tanpanya.
Memandangkan surah
al-Fatihah ini mudah dihafal dan dibaca, adakalanya faktor inilah yang
mengakibatkan sebilangan orang memandang ringan akan kesempurnaannya lalu
membacanya tanpa berguru atau didengarkan kepada orang yang dapat memimpinnya
sebagai bacaan yang betul.
Kerana pentingnya
perkara ini, kita akan cuba mengupas mengenai pembacaan surah al-Fatihah dalam
sembahyang sebagai panduan untuk kita semua.
Hukum Membaca Surah
Al-Fatihah Dalam Sembahyang
Ulama mazhab
asy-Syafi‘e berpendapat bahawa membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat
hukumnya adalah wajib ke atas orang yang bersembahyang sama ada imam, munfarid
(orang yang sembahyang sendiri) mahupun makmum menurut pendapat yang paling
shahih, sama ada dalam sembahyang sirriyah (sembahyang yang bacaannya
dibaca secara perlahan) mahupun sembahyang jahriyyah (sembahyang yang
bacaannya dibaca secara nyaring).
Adapun bagi orang
yang masbuk pula, hukumnya tetap wajib baginya membaca al-Fatihah sekadar apa
yang sempat dibacanya sebelum imam rukuk. Akan tetapi jika imam sudah rukuk,
maka tidaklah perlu baginya untuk membaca surah al-Fatihah lagi, kerana bacaan
surah al-Fatihah tersebut ditanggung oleh imam dan dikira baginya rakaat
tersebut sebagai satu rakaat, dengan syarat makmum yang masbuk itu mestilah
sempat thuma’ninah bersama imam ketika rukuk.
Bacaan surah
al-Fatihah bagi makmum juga ditanggung oleh imam jika sekiranya makmum itu
tidak mempunyai kesempatan membacanya ataupun tidak mempunyai masa yang cukup
untuk menghabiskannya semasa qiyam imam (sebelum imam rukuk), sama ada
kerana bacaan atau pergerakannya yang lambat, misalnya ketika bangun dari
sujud, imam sudahpun rukuk kembali kerana pergerakan makmum yang
lambat, ataupun
terlupa bahawa dia sedang bersembahyang atau ragu-ragu adakah dia sudah
membacanya ataupun belum sedangkan imam sudahpun rukuk. Maka dalam keuzuran-keuzuran seperti ini,
bacaan surah al-Fatihah tersebut ditanggung oleh imam walaupun ianya berlaku
pada setiap rakaat dalam sembahyang.
Tuntutan wajib
membaca surah al-Fatihah itu dilaksanakan sama ada dengan cara hafalan ataupun
ditalkinkan kepadanya (dibacakan kepadanya ketika dia bersembahyang,
kemudian dia ikut membacanya) ataupun membacanya dengan cara melihat mushaf,
jika dia pandai membaca. Dalam hal ini, mengadakan mushaf itu pula hukumnya
adalah wajib, sama ada dengan cara membeli, menyewa ataupun meminjamnya, dan
wajib pula mengadakan lampu, jika tempat dia bersembahyang itu gelap. Tujuannya
ialah untuk membolehkannya membaca mushaf tersebut. Jika dia enggan
melaksanakan perkara-perkara ini, sedangkan dia sebenarnya mampu, maka wajib ke
atasnya mengulang semula semua sembahyang yang dikerjakannya sepanjang
keengganannya melakukan perkara-perkara di atas.
Tegasnya, surah
al-Fatihah tetap wajib dibaca dengan apa jua cara sekalipun, sedaya upaya yang
termampu. Begitu juga usaha-usaha yang membolehkan ianya dilaksanakan, seperti
mempelajarinya, mendapatkan mushaf mahupun menyediakan lampu adalah wajib jika
ada kemampuan untuk melakukannya.
Ini berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari ‘Ubadah Radhiallahu ‘anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

Maksudnya: Tidak sah
sembahyang bagi sesiapa yang tidak membaca Fatihah al-Kitab (surah al-Fatihah).
(Hadits riwayat Imam
Bukhari dan Muslim)
Bacaan
Surah Al-Fatihah Yang Sempurna
Secara
umumnya, bacaan surah al-Fatihah yang sempurna itu ialah dengan membacanya
mengikut bacaan yang disepakati oleh ahli-ahli al-Qur’an, seperti wajib mad,
idgham dan hukum-hukum tajwid yang lain.
Imam
al-Baijuri ada menyebutkan secara ringkas sebelas syarat yang perlu dijaga
ketika membaca surah al-Fatihah dalam sembahyang, iaitu:
1. Bacaan
yang dapat didengar dengan jelas oleh telinganya sendiri
(bagi yang sihat pendengaran).
2.
Membaca dengan tertib (tersusun mengikut susunan ayat-ayatnya).
3.
Membaca secara berterusan (muwalah), iaitu bacaan yang tidak
terputus-putus kecuali pada kadar untuk bernafas.
4.
Menjaga segala hurufnya, termasuk
sabdunya yang empat belas. Tiga daripadanya terdapat pada Basmalah
.

5. Tidak
melakukan kesilapan dalam bacaan yang boleh menukar makna.
6. Tidak
membacanya dengan bacaan yang ganjil (syadz) yang merubah makna.
7. Tidak
menukar perkataan-perkataannya.
8.
Membaca setiap ayatnya termasuk Basmalahnya, kerana ianya
adalah sebahagian daripada surah al-Fatihah.
9.
Membacanya dalam bahasanya yang asal iaitu bahasa Arab dan tidak
menterjemahkannya ke dalam bahasa lain, kerana jika diterjemahkan akan
hilanglah mukjizat al-Qur‘an itu.
10.
Khusus bagi orang yang tidak mampu membaca surah al-Fatihah, hendaklah membaca
penggantinya dari surah-surah lain juga dalam bahasa Arab. Lainlah halnya jika
gantiannya itu terdiri daripada zikir ataupun doa, kerana ianya boleh
diterjemahkan jika tidak mampu membacanya dalam bahasa Arab.
11.
Membacanya dalam keadaan qiyam (berdiri). Jika tidak mampu
berdiri, maka hendaklah dibaca dalam keadaan duduk, berbaring dan sebagainya.
Kaedah
Bacaan Yang Disunatkan (Afdhal)
Ada
beberapa kaedah bacaan yang disunatkan menurut ulama, iaitu:-
1. Sunat
waqaf pada setiap ayat, termasuk juga dalam hal ini pada ayat Basmalah
sebagaimana menurut pendapat muktamad dalam kitab Fath al-Mu‘in.
Imam
al-Bujairimi berkata: Pendapat yang muktamad ialah sunat waqaf pada Basmalah
kerana ianya adalah satu ayat yang sempurna, dan setiap ayat yang sempurna itu
disunatkan waqaf padanya.
Ini berdasarkan hadits shahih, bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan cara waqaf seayat demi seayat.
Ummu
Salamah Radhiallahu ’anha meriwayatkan ketika menjelaskan cara bacaan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:

Maksudnya: Sesungguhnya
Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam memutus-mutuskan (mewaqaf) bacaannya
(surah al-Fatihah) seayat demi seayat.
(Hadits
riwayat Imam Ahmad)
2.
Tidak waqaf pada ayat أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ)).
Syeikh Ramli berkata dalam Kitab an-Nihayah: Adalah sunat untuk menyambungnya
dengan ayat selepasnya kerana ayat tersebut bukanlah tempat waqaf dan bukan
pula penghujung ayat.
Bagaimanapun,
tidaklah merosakkan sembahyang jika waqaf dilakukan menurut Imam
asy-Syabramallisi. Jika waqaf juga pada ayat أَنْعَمْتَ
عَلَيْهِمْ)), maka adalah lebih baik menyambungnya sahaja dengan ayat
selepasnya.
3.
Membaca secara tartil dan tidak terburu-buru sehingga merosakkan bacaan. Ini
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
(سورة القيامة : أية 16)
Tafsirnya:
Janganlah engkau (wahai Muhammad) – kerana hendakkan cepat
menghafaz al-Qur‘an yang diturunkan kepadamu – menggerakkan lidahmu membacanya
(sebelum selesai dibacakan kepadamu oleh Jibril ‘alaihissalam).
Surah
al-Qiamaah : Ayat : 16))
Sebab turunnya ayat
ini, menurut Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma, ialah kerana sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam ketika Malaikat Jibril menurunkan wahyu kepada Baginda,
Baginda membacanya dengan cepat sehingga memberatkan dirinya sendiri.
Firman
Allah Subhanahu
wa Ta‘ala lagi:
(سورة الإسراء : أية 106)
Tafsirnya: Dan
al-Qur’an itu Kami bahagi-bahagikan supaya engkau membacakannya kepada manusia
dengan lambat tenang; dan Kami menurunkannya beransur-ansur.
(Surah al-Israa’: Ayat:106)
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Abdul Rahman bin Syibl al-Anshari Radhiallahu
‘anhu bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
اِقْرَؤُواْ
الْقُرْاَنَ وَلاَ تَغْلُواْ فِيهِ.
(رواه أحمد)
Maksudnya:
Bacalah oleh kamu al-Qur’an, dan janganlah berlebih-lebih padanya (membaca
pantas).
(Hadits
riwayat Imam Ahmad)
Membaca
surah al-Fatihah dengan tergopoh-gapah dan tidak membacanya seayat demi seayat
atau membacanya tanpa berhenti langsung, khususnya semasa sembahyang Tarawih di
bulan Ramadhan tidak memenuhi tuntutan sunnah yang diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.
Membaca
dengan tenang seayat demi seayat mengikut kaedah bacaan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam ini pada hakikatnya, akan lebih mendatangkan kekhusyukkan,
di samping memudahkan kita untuk merenung, menghayati serta memahami maksud
ayatnya satu persatu, ataupun sekurang-kurangnya, jika tidak memahami maksud
ayatnya, sebagai adab dan tanda hormat kita terhadap Kalamullah. Ini
tidak syak lagi akan menimbulkan rasa kemanisan ibadah terhadap Allah Subhanahu
wa Ta‘ala.
Imam
Ghazali berkata: Ketahuilah bahawa sesungguhnya bacaan secara tartil itu
disunatkan bukanlah semata-mata untuk merenung maksud ayatnya sahaja, bahkan
orang-orang bukan Arab yang tidak memahami makna ayat al-Qur’an pun disunatkan
supaya membacanya secara tartil dan tenang, kerana ini lebih menunjukkan rasa
sopan dan hormat terhadap al-Qur’an, dan akan mendatangkan kesan yang lebih
mendalam di dalam jiwa daripada membacanya secara tergopoh-gapah dan
tergesa-gesa.
4.
Mengindah dan memerdukan suara.
Diriwayatkan
daripada al-Bara’ bin ‘Aazib Radhiallahu ‘anhu, beliau telah berkata
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
زَيِّنُوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ.
(رواه النسائي وإبن ماجه وأحمد)
Maksudnya: Hiasilah
al-Qur‘an dengan (kemerduan) suara-suara kamu.
(Hadits
riwayat Imam an-Nasa’ie, Ibnu Majah dan Ahmad)
Permasalahan Tertib Dalam Bacaan Surah Al-Fatihah
1. Wajib
membaca surah al-Fatihah itu secara tertib yakni tersusun mengikut susunan
bacaan yang sabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kerana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan tertib dan
tersusun. Maka cara Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam itu wajib
diikut berdasarkan sabda Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam:
صَلُّواْ
كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى.
(رواه البيهقى وإبن حبان)
Maksudnya:
Sembahyanglah kamu sepertimana kamu melihat (cara) aku
bersembahyang.
(Hadits
riwayat Imam al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)
Jika
dengan senghaja membaca dengan tidak mengikut tertib seperti mendahulukan ayat
yang kemudian ataupun sebaliknya, maka batallah bacaan surah al-Fatihahnya itu,
kerana membaca ayat-ayatnya bukan pada tempatnya yang betul. Sembahyangnya
tidak batal jika dia isti’naf (membaca semula dari awal) surah al-Fatihah
tersebut.
Adapun
jika ianya tidak disenghajakan, sebagai misal jika mendahulukan membaca (مَالِكِ يَوْمِ الدِِّينِ) dari (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ), maka cukup baginya
sekadar menyambung ayat tersebut
(الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) dengan ayat selepasnya, iaitu (مَالِكِ يَوْمِ الدِِّينِ) tanpa perlu
membaca semula dari awal surah.
Sementara
ayat (مَالِكِ يَوْمِ الدِِّينِ)
yang didahulukannya itu tadi tidak dikira. Bagaimanapun, jika sudah jauh jarak
waktu kesalahan tersebut berlaku, maka diwajibkan isti’naf.
Adapun
jika sekiranya bacaannya itu membawa kepada perubahan makna, maka batallah
sembahyangnya jika dilakukannya secara senghaja dan dia mengetahui hukum
larangan melakukannya. Jika tidak disenghajakan dan dia tidak tahu
hukumnya, maka dalam hal ini bacaannya menjadi batal dan wajib isti’naf,
akan tetapi tidaklah membatalkan sembahyangnya.
2.
Orang yang sudah membaca separuh daripada surah al-Fatihah, lalu dia merasa
syak adakah dia sudah membaca Basmalah ataupun belum? Lalu diteruskannya
juga bacaannya itu tanpa mengulangi Basmalah, kemudian dia teringat
setelah selesai membaca surah al-Fatihah itu bahawa dia sudahpun membaca Basmalah,
maka dalam hal ini mengikut pendapat yang awjah (paling tepat) menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami,
wajib membaca semula surah al-Fatihah dari mula hingga akhir,
termasuklah Basmalah.
3.
Jika berlaku syak kemungkinan tertinggal suatu huruf ataupun lebih setelah habis membaca keseluruhan surah al-Fatihah dan
sebelum rukuk, maka keraguan tersebut tidak dikira kerana dia dianggap sudah
membacanya dengan sempurna dan ianya dimaafkan. Berlainan halnya jika dia
ragu-ragu bahawa adakah dia sudah membaca surah al-Fatihah ataupun belum? Jika
ini berlaku, wajib atasnya isti’naf.
4.
Jika berlaku syak tertinggal sebahagian ayat dari surah al-Fatihah setelah
ianya selesai dibaca, maka keraguan itu tidak dikira kerana sudah dikira telah
membacanya dengan sempurna.
Adapun
jika sekiranya keraguan itu berlaku sebelum selesai membaca surah al-Fatihah,
wajib baginya isti’naf jika keraguannya itu lama. Jika keraguannya
itu tidak lama, maka cukuplah baginya sekadar membaca kembali ayat yang
diragukannya itu tadi dan kemudian menyambung kembali bacaannya dari ayat
tersebut sehingga selesai.
Bagaimanapun,
jika dia ragu-ragu kemungkinan ada tertinggal suatu ayat dari surah al-Fatihah,
dan dia sendiri tidak pasti ayat yang mana satu yang berkemungkinan tertinggal
itu, maka wajib ke atasnya isti’naf.
5.
Apabila orang yang membaca surah al-Fatihah dalam
keadaan khayal, lalai atau kurang tumpuan, misalnya membacanya sedangkan ketika
itu dia sedang berangan ataupun memikirkan perkara yang lain, kemudian
tersedar kembali apabila sampai pada ayat (صِرَاطَ الَّذِينَ), lalu dia tidak yakin dalam waktu
terdekat akan kesempurnaan bacaannya ketika lalai itu (keraguannya itu lama),
maka wajib atasnya isti’naf. Adapun jika dia masih yakin akan
kesempurnaan bacaannya (ketika lalainya itu) dalam masa terdekat, maka bolehlah
dia meneruskan sahaja bacaannya.
Permasalahan Muwalah (Berturut-Turut) Dalam Bacaan Surah
Al-Fatihah
Wajib muwalah dalam bacaan kerana mengikut bacaan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, berdasarkan sabda Baginda:
صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّي.
(رواه البيهقى وإبن حبان)
Maksudnya: Sembahyanglah kamu sepertimana kamu melihat
(cara) aku bersembahyang.
(Hadits
riwayat Imam al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)
Maksud muwalah ialah membaca secara berturut-turut antara satu
kalimah dengan kalimah yang lain, dan tidak memisahkan antara keduanya kecuali
dalam kadar mengambil nafas.
Adapun perkara-perkara yang boleh memutuskan muwalah itu
ialah:-
1. Senghaja diam dalam satu kadar masa yang lama ketika membaca
surah al-Fatihah sehingga dapat dirasakan bahawa dia ingin memutuskan
bacaannya, atau dapat dirasakan bahawa dia dengan rela hatinya enggan
meneruskan bacaannya, maka putuslah muwalah dan batallah bacaannya, dan
wajib atasnya isti’naf (mengulanginya).
Adapun jika sekiranya dia berniat untuk memutuskan bacaannya, maka
putuslah muwalah walaupun dia hanya berhenti sekejap sahaja mengikut
pendapat yang paling shahih dan masyhur dalam mazhab Imam asy-Syafi‘e.
Akan tetapi, jika dia berniat untuk memutuskan bacaannya sedangkan
dia tidak melakukannya (tidak juga memutuskan bacaannya), maka tidak terputus muwalah
tersebut.
Berlainan halnya jika orang yang diam lama kerana keuzuran,
misalnya tidak tahu hukum, terlalai, gagap, banyak bersin, batuk, menguap
ataupun diam kerana mengingati ayat yang terlupa; perkara-perkara seumpama ini
tidak memutuskan muwalah.
2.
Membaca tasbih, tahlil mahupun zikir-zikir yang lain atau membaca ayat-ayat
dari surah yang lain sama ada banyak mahupun sedikit ketika membaca surah
al-Fatihah. Perkara-perkara sedemikian tidak disuruh kerana boleh memutuskan muwalah.
Umpamanya
juga menyahut seruan azan ketika membaca surah al-Fatihah, mengaminkan bacaan
surah al-Fatihah yang dibaca oleh bukan imamnya, ataupun mengucapkan "Alhamdulillah"
ketika bersin, kerana perkara ini walaupun sunat dilakukan di luar
sembahyang, ianya tidak sekali-kali diharuskan dalam sembahyang. Akan tetapi
jika ianya tidak disenghajakan, misalnya kerana terlupa ataupun terlalai maka
tidak terputus muwalah sebagaimana tersebut di dalam kitab Mughni
al-Muhtaj.
Adapun
perkara-perkara yang disuruh seperti mengaminkan bacaan imam, atau sujud
tilawah kerana bacaan imam, atau membetulkan bacaan imam yang terhenti
bacaannya kerana terlupa, sama ada surah al-Fatihah atau surah-surah yang lain,
atau membaca doa memohon rahmat ketika imam membaca ayat-ayat rahmat dan
membaca doa memohon perlindungan ketika dibacakan ayat-ayat azab (dalam bahasa
Arab), maka menurut pendapat yang ashah (paling shahih), tidaklah
memutuskan muwalah bacaan surah al-Fatihah itu. Walau bagaimanapun,
mengikut pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami, adalah disunatkan isti’naf
sebagai mengambil kira pendapat sebahagian ulama mazhab asy-Syafi‘e yang
mengatakan bahawa perkara-perkara tersebut termasuk juga dalam perkara-perkara
yang memutuskan muwalah. Yang demikian itu sebagai jalan keluar untuk
mengelakkan dari perselisihan pendapat.
3. Membetulkan bacaan imam yang terlupa ataupun salah bacaannya
sedangkan imam tersebut belum lagi berhenti membaca, yakni masih lagi
mengulang-ulang bacaannya untuk mengingati ayat tersebut.
Akan tetapi, mengikut Imam asy-Syarqawi, boleh membetulkan bacaan
imam yang masih lagi mengulang-ulang bacaannya jika telah sempit waktu (waktu
sembahyang hampir habis).
Perlu
diingat juga di sini bahawa untuk membetulkan bacaan imam, selain disyaratkan
supaya memastikan imam sudah berhenti membaca, disyaratkan juga ketika
membetulkan itu supaya berniat qiraah (membaca al-Qur’an)
semata-mata, ataupun berniat qiraah dan membetulkan bacaan imam. Jika
diniatkan untuk membetulkan bacaan imam semata-mata tanpa niat qiraah
maka ianya akan menyebabkan sembahyang makmum tersebut menjadi batal
sepertimana pendapat muktamad dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj.
Permasalahan
Tertib Dalam Bacaan Surah Al-Fatihah
1. Wajib
membaca surah al-Fatihah itu secara tertib yakni tersusun mengikut susunan
bacaan yang sabit dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kerana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dengan tertib dan
tersusun. Maka cara Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam itu wajib
diikut berdasarkan sabda Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam:

Maksudnya:
Sembahyanglah kamu sepertimana kamu melihat (cara) aku
bersembahyang.
(Hadits
riwayat Imam al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)
Jika
dengan senghaja membaca dengan tidak mengikut tertib seperti mendahulukan ayat
yang kemudian ataupun sebaliknya, maka batallah bacaan surah al-Fatihahnya itu,
kerana membaca ayat-ayatnya bukan pada tempatnya yang betul. Sembahyangnya
tidak batal jika dia isti’naf (membaca semula dari awal) surah
al-Fatihah tersebut.
Adapun
jika ianya tidak disenghajakan, sebagai misal jika mendahulukan membaca
dari
maka cukup baginya sekadar menyambung ayat
tersebut
dengan ayat selepasnya, iaitu
tanpa perlu membaca semula dari awal
surah. Sementara ayat
yang didahulukannya itu tadi tidak dikira.
Bagaimanapun, jika sudah jauh jarak waktu kesalahan tersebut berlaku, maka
diwajibkan isti’naf.





Adapun
jika sekiranya bacaannya itu membawa kepada perubahan makna, maka batallah
sembahyangnya jika dilakukannya secara senghaja dan dia mengetahui hukum
larangan melakukannya. Jika tidak disenghajakan dan dia tidak tahu
hukumnya, maka dalam hal ini bacaannya menjadi batal dan wajib isti’naf,
akan tetapi tidaklah membatalkan sembahyangnya.
2.
Orang yang sudah membaca separuh daripada surah al-Fatihah, lalu dia merasa
syak adakah dia sudah membaca Basmalah ataupun belum? Lalu diteruskannya
juga bacaannya itu tanpa mengulangi Basmalah, kemudian dia teringat
setelah selesai membaca surah al-Fatihah itu bahawa dia sudahpun membaca Basmalah,
maka dalam hal ini mengikut pendapat yang awjah (paling tepat) menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami,
wajib membaca semula surah al-Fatihah dari mula hingga akhir,
termasuklah Basmalah.
3.
Jika berlaku syak kemungkinan tertinggal suatu huruf ataupun lebih setelah habis membaca keseluruhan surah al-Fatihah dan
sebelum rukuk, maka keraguan tersebut tidak dikira kerana dia dianggap sudah
membacanya dengan sempurna dan ianya dimaafkan. Berlainan halnya jika dia
ragu-ragu bahawa adakah dia sudah membaca surah al-Fatihah ataupun belum? Jika
ini berlaku, wajib atasnya isti’naf.
4.
Jika berlaku syak tertinggal sebahagian ayat dari surah al-Fatihah setelah
ianya selesai dibaca, maka keraguan itu tidak dikira kerana sudah dikira telah
membacanya dengan sempurna.
Adapun
jika sekiranya keraguan itu berlaku sebelum selesai membaca surah al-Fatihah,
wajib baginya isti’naf jika keraguannya itu lama. Jika keraguannya
itu tidak lama, maka cukuplah baginya sekadar membaca kembali ayat yang
diragukannya itu tadi dan kemudian menyambung kembali bacaannya dari ayat
tersebut sehingga selesai.
Bagaimanapun,
jika dia ragu-ragu kemungkinan ada tertinggal suatu ayat dari surah al-Fatihah,
dan dia sendiri tidak pasti ayat yang mana satu yang berkemungkinan tertinggal
itu, maka wajib ke atasnya isti’naf.
5.
Apabila orang yang membaca surah al-Fatihah dalam
keadaan khayal, lalai atau kurang tumpuan, misalnya membacanya sedangkan ketika
itu dia sedang berangan ataupun memikirkan perkara yang lain, kemudian
tersedar kembali apabila sampai pada ayat
lalu dia tidak yakin dalam waktu
terdekat akan kesempurnaan bacaannya ketika lalai itu (keraguannya itu lama),
maka wajib atasnya isti’naf. Adapun jika dia masih yakin akan
kesempurnaan bacaannya (ketika lalainya itu) dalam masa terdekat, maka bolehlah
dia meneruskan sahaja bacaannya.

Permasalahan Muwalah (Berturut-Turut) Dalam Bacaan Surah
Al-Fatihah
Wajib muwalah dalam bacaan kerana mengikut bacaan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, berdasarkan sabda Baginda:

Maksudnya: Sembahyanglah kamu sepertimana kamu melihat
(cara) aku bersembahyang.
(Hadits
riwayat Imam al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)
Maksud muwalah ialah membaca secara berturut-turut antara
satu kalimah dengan kalimah yang lain, dan tidak memisahkan antara keduanya
kecuali dalam kadar mengambil nafas.
Adapun perkara-perkara yang boleh memutuskan muwalah itu
ialah:-
1. Senghaja diam dalam satu kadar masa yang lama ketika membaca
surah al-Fatihah sehingga dapat dirasakan bahawa dia ingin memutuskan
bacaannya, atau dapat dirasakan bahawa dia dengan rela hatinya enggan
meneruskan bacaannya, maka putuslah muwalah dan batallah bacaannya, dan
wajib atasnya isti’naf (mengulanginya).
Adapun jika sekiranya dia berniat untuk memutuskan bacaannya, maka
putuslah muwalah walaupun dia hanya berhenti sekejap sahaja mengikut
pendapat yang paling shahih dan masyhur dalam mazhab Imam asy-Syafi‘e.
Akan tetapi, jika dia berniat untuk memutuskan bacaannya sedangkan
dia tidak melakukannya (tidak juga memutuskan bacaannya), maka tidak terputus muwalah
tersebut.
Berlainan halnya jika orang yang diam lama kerana keuzuran,
misalnya tidak tahu hukum, terlalai, gagap, banyak bersin, batuk, menguap ataupun
diam kerana mengingati ayat yang terlupa; perkara-perkara seumpama ini tidak
memutuskan muwalah.
2.
Membaca tasbih, tahlil mahupun zikir-zikir yang lain atau membaca ayat-ayat
dari surah yang lain sama ada banyak mahupun sedikit ketika membaca surah
al-Fatihah. Perkara-perkara sedemikian tidak disuruh kerana boleh memutuskan muwalah.
Umpamanya
juga menyahut seruan azan ketika membaca surah al-Fatihah, mengaminkan bacaan
surah al-Fatihah yang dibaca oleh bukan imamnya, ataupun mengucapkan "Alhamdulillah"
ketika bersin, kerana perkara ini walaupun sunat dilakukan di luar
sembahyang, ianya tidak sekali-kali diharuskan dalam sembahyang. Akan tetapi
jika ianya tidak disenghajakan, misalnya kerana terlupa ataupun terlalai maka
tidak terputus muwalah sebagaimana tersebut di dalam kitab Mughni
al-Muhtaj.
Adapun
perkara-perkara yang disuruh seperti mengaminkan bacaan imam, atau sujud
tilawah kerana bacaan imam, atau membetulkan bacaan imam yang terhenti
bacaannya kerana terlupa, sama ada surah al-Fatihah atau surah-surah yang lain,
atau membaca doa memohon rahmat ketika imam membaca ayat-ayat rahmat dan
membaca doa memohon perlindungan ketika dibacakan ayat-ayat azab (dalam bahasa
Arab), maka menurut pendapat yang ashah (paling shahih), tidaklah
memutuskan muwalah bacaan surah al-Fatihah itu. Walau bagaimanapun,
mengikut pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami, adalah disunatkan isti’naf
sebagai mengambil kira pendapat sebahagian ulama mazhab asy-Syafi‘e yang
mengatakan bahawa perkara-perkara tersebut termasuk juga dalam perkara-perkara
yang memutuskan muwalah. Yang demikian itu sebagai jalan keluar untuk
mengelakkan dari perselisihan pendapat.
3. Membetulkan bacaan imam yang terlupa ataupun salah bacaannya
sedangkan imam tersebut belum lagi berhenti membaca, yakni masih lagi
mengulang-ulang bacaannya untuk mengingati ayat tersebut.
Akan tetapi, mengikut Imam asy-Syarqawi, boleh membetulkan bacaan
imam yang masih lagi mengulang-ulang bacaannya jika telah sempit waktu (waktu
sembahyang hampir habis).
Perlu diingat juga di sini bahawa untuk membetulkan bacaan imam,
selain disyaratkan supaya memastikan imam sudah berhenti membaca, disyaratkan
juga ketika membetulkan itu supaya berniat qiraah (membaca
al-Qur’an) semata-mata, ataupun berniat qiraah dan membetulkan bacaan
imam. Jika diniatkan untuk membetulkan bacaan imam semata-mata tanpa niat qiraah
maka ianya akan menyebabkan sembahyang makmum tersebut menjadi batal
sepertimana pendapat muktamad dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj.
Permasalahan Ta’min Selepas Bacaan Surah Al-Fatihah
1.
Ta’min ialah mengucapkan
setelah selesai membaca surah al-Fatihah.
Hukumnya adalah sunat ke atas setiap orang yang bersembahyang setelah selesai
membaca surah al-Fatihah sama ada imam, makmum, munfarid, lelaki,
perempuan, kanak-kanak, orang yang bersembahyang dengan cara berdiri, orang
yang bersembahyang dengan cara duduk, orang yang sembahyang dengan cara
berbaring, orang yang bersembahyang fardhu, orang yang bersembahyang sunat,
dalam sembahyang jahriyyah mahupun dalam sembahyang sirriyyah
tanpa perselisihan pendapat antara ulama mazhab asy-Syafi‘e. Ta’min
juga sunat ke atas orang yang telah selesai membaca surah al-Fatihah di luar sembahyang.
Bagaimanapun, menurut Imam al-Wahidi, tuntutannya dalam sembahyang adalah lebih
utama.

Ini
berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

Maksudnya:
Apabila imam membaca

maka
katakanlah: “Amin”. Maka sesiapa yang bertepatan ta’minnya dengan ta’min
Malaikat, diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah lalu.
(Hadits
riwayat Imam Bukhari)
2. Setelah
selesai membaca surah al-Fatihah, sunat diam sekejap (dalam kadar kira-kira
membaca Subhanallah) sebelum berta’min. Tujuannya supaya
membezakan surah al-Fatihah dengan perkataan "Amin", kerana ianya
bukanlah sebahagian daripada surah tersebut.
3. Jika sembahyang yang
dikerjakan itu ialah sembahyang jahriyyah, maka bacaan ta’min pun
dibaca secara jahr sebagaimana bacaan surah al-Fatihahnya dibaca secara jahr.
Begitu juga sebaliknya bagi sembahyang sirriyyah, bacaan ta’min
akan dibaca secara sirr, sama ada bagi imam ataupun makmum.
4. Makmum sunat menta’minkan
bacaan surah al-Fatihah imam dalam sembahyang jahriyyah sungguhpun
imam itu sendiri tidak menta’minkannya, sama ada dia senghaja
meninggalkannya ataupun terlupa, supaya imam itu terdengar lalu turut menta’minkannya.
5. Sunat ta’min
makmum serentak dengan ta’min imam, supaya ta’min mereka itu bersamaan (satu masa yang sama) dan bertepatan
dengan ta’min malaikat, kerana para malaikat ketika itu turut sama berta’min
bersama imam.
Imam Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya daripada Abu Hurairah Radhiallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:

Maksudnya:
Apabila imam berta’min, maka berta’minlah kamu, kerana
sesungguhnya para malaikat turut sama berta’min bersama ta’min imam itu. Maka
sesiapa yang bertepatan (masa) ta’minnya itu dengan ta’min para malaikat,
nescaya akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah lalu.
(Hadits
riwayat Imam Bukhari)
6. Jika makmum
membaca surah al-Fatihah bersama-sama imam, misalnya kerana makmum tersebut
tahu bahawa imam tidak akan membaca surah selepas membaca surah al-Fatihah,
atau hanya akan membaca surah yang pendek dan khuatir tidak akan sempat
menghabiskan surah al-Fatihah, maka jika makmum tersebut lebih dulu selesai
membaca surah al-Fatihah, mengikut pendapat yang terpilih dalam mazhab
asy-Syafi‘e hendaklah dia menta’minkan bacaan surah al-Fatihahnya
terlebih dahulu kemudian berta’min sekali lagi setelah imam
selesai membaca surah al-Fatihah.
Imam as-Sarkhasi di
dalam kitab al-Amali menyebutkan: Jika seorang makmum itu berta’min
bersama imam, kemudian makmum itu membaca surah al-Fatihah, maka hendaklah
makmum tersebut menta’minkan lagi bacaan surah al-Fatihahnya sendiri.
Dan jika makmum itu membaca surah al-Fatihah bersama imam dan habis membaca
bersama-samanya, maka adalah memadai baginya untuk berta’min sekali
sahaja.
7. Sunat bagi imam
supaya diam sebentar (saktah lathifah) setelah ta’min ketika
sembahyang jahriyyah dalam kadar kira-kira memberi peluang kepada makmum
untuk menghabiskan bacaan surah al-Fatihah mereka. Diam di sini bukanlah
bermaksud diam semata-mata, akan tetapi disunatkan bagi imam pada waktu
tersebut untuk membaca zikir, doa ataupun membaca ayat-ayat al-Qur’an secara sirr.
Tersebut di dalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Fath al-Mu‘in, adalah lebih awla (lebih utama) bagi imam ketika saktah
lathifah itu supaya membaca ayat-ayat al-Qur’an (secara sirr).
8. Untuk menta’minkan
bacaan imam dalam sembahyang jahriyyah, makmum disyaratkan supaya dapat
mendengar bacaan surah al-Fatihah imam dengan bunyi suara yang jelas, iaitu
sekira-kira dapat makmum itu membezakan huruf-huruf yang dibacakan oleh imam,
bukannya semata-mata mengikut ta’min imam. Dan memadai bagi makmum dalam
hal ini untuk mendengar imam membaca
sahaja, tidak disyaratkan mendengar
keseluruhan bacaan surah al-Fatihah imam.

9. Ta’min
akan dikira luput jika dengan senghaja diam melebihi
dari kadar yang disunatkan selepas
, iaitu dalam kadar kira-kira dirasakan putus
nisbah (hubungan) ta’min dengan surah al-Fatihah.

Ta’min juga luput sekiranya
orang yang bersembahyang itu rukuk, atau membaca sesuatu yang lain selepas
walaupun secara tidak senghaja sungguhpun
sedikit.

Imam Ibnu Hajar
al-Haitami mengecualikan dalam hal ini jika orang itu membaca
selepas
sebelum ta’min, kerana pernah dikhabarkan
bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca
setelah
, dan sebelum ta’min.




Kesalahan-Kesalahan
Pada Huruf Dan Baris Surah al-Fatihah
Imam as-Sayyid Muhammad
Abdullah al-Jurdani, iaitu pengarang kitab Fath al-‘Allam ada menyebutkan
permasalahan ini dalam kitabnya, beliau berkata:
· Jika menggugurkan
satu huruf dari surah al-Fatihah, misalnya membaca
dengan menggugurkan huruf 


· Atau menghilangkan
sabdu, misalnya membaca 

· Atau menukarkan
dengan huruf yang lain, misalnya menggantikan
dengan 


· Atau menggantikan
dengan 


· Atau membaca
dengan 


· Atau membaca
dengan



· Atau membaca
dengan
atau 



· Atau membaca
dengan
– maka batallah sembahyangnya jika orang
tersebut senghaja dan mengetahui akan hukumnya.


Adapun
jika ianya tidak disenghajakan, maka batallah bacaannya pada kalimah tersebut,
dan wajiblah ke atasnya sebelum rukuk untuk membetulkan bacaannya itu tadi,
kemudian menyempurnakannnya jika belum lama waktu kesalahan itu berlaku. Jika
sudah lama, maka wajib atasnya isti’naf (mengulangi semula bacaannya
dari awal surah al-Fatihah).
Jika
dia senghaja rukuk sedangkan dia tahu hukumnya bahawa dia wajib memperbetulkan
bacaannya sebelum rukuk, maka batallah sembahyangnya. Adapun jika dia tidak
senghaja rukuk misalnya kerana terlupa ataupun tidak tahu hukumnya, maka rakaatnya
itu tadi tidak dikira.
Jika
menukar baris sehingga tertukar makna kalimah tersebut, misalnya membaca
atau
atau
maka batallah sembahyangnya jika
disenghajakan dan tahu akan hukumnya.



Adapun
jika tidak disenghajakan, maka batallah bacaannya pada kalimah tersebut, maka
wajib atasnya mengulangi bacaan tersebut sebelum rukuk selama mana jarak
masanya masih lagi hampir. Jika jaraknya sudah jauh, maka wajib atasnya isti’naf.
Jika senghaja tidak mahu memperbetulkannya sebelum rukuk sedangkan dia tahu
hukum memperbetulkan bacaannya itu wajib sebelum rukuk, maka batallah
sembahyangnya sepertimana permasalahan di atas.
Dalam
masalah melakukan kesalahan dalam bacaan yang membawa kepada perubahan makna
ini, menurut pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami, adalah disunatkan sujud sahwi
jika ianya tidak disenghajakan. Ini kerana setiap kesalahan yang jika
disenghajakan boleh membatalkan sembahyang, tetapi dilakukan secara tidak
senghaja, maka adalah disunatkan untuk melakukan sujud sahwi.
Manakala
jika perubahan baris itu tidak membawa kepada perubahan makna, misalnya membaca
atau
maka tidaklah sekali-kali ianya membatalkan
sembahyang, akan tetapi haram hukumnya jika disenghajakan dan tahu akan
hukumnya.


Semua permasalahan
ini adalah bagi mereka yang pada asalnya mampu membaca dengan betul.
Adapun bagi mereka
yang tidak berkemampuan untuk membacanya dengan betul dan tidak pula
mampu mempelajarinya, maka sembahyang mereka tetap sah dan tidak
menjadi haram bagi mereka membaca sedemikian rupa.
Hukum Jika Tidak Pandai
Membaca Surah al-Fatihah
Telahpun
disentuh di awal-awal lagi bahawa surah al-Fatihah wajib dibaca sama ada
melalui hafalan, mahupun ditalkinkan kepadanya ataupun dengan cara
melihat mushaf, dan wajib mengadakan mushaf itu sama ada dengan cara membeli,
menyewa ataupun meminjamnya, dan wajib pula menyediakan lampu jika tempat dia
bersembahyang itu gelap bagi membolehkannya membaca mushaf tersebut.
Pendek kata surah
al-Fatihah tetap wajib dibaca dengan apa jua cara sekalipun, disertai juga
segala usaha yang membolehkannya membaca surah al-Fatihah itu dengan seberapa
mampu yang boleh. Bagaimanapun, bagi mereka yang tidak berkemampuan untuk
melakukan perkara-perkara di atas, Islam telah memberikan kelonggaran ke atas
mereka ini untuk menggantikan surah al-Fatihah itu dengan bacaan-bacaan lain.
Firman Allah Subhanahu
wa Ta‘ala:

Tafsirnya: Allah menghendaki
kamu beroleh kemudahan, dan Dia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran.
(Surah al-Baqarah: Ayat: 185)
Dalam hal ini, para
ulama telahpun menyebutkan beberapa permasalahan yang berkaitan dengannya
seperti berikut:-
1. Jika orang
tersebut boleh membaca ayat-ayat al-Qur’an yang lain selain surah al-Fatihah,
maka bolehlah ia dijadikan sebagai pengganti surah al-Fatihah. Dengan syarat
ianya mestilah sekurang-kurangnya tujuh ayat ataupun
lebih baik lapan ayat menurut Imam asy-Syafi’e sepertimana yang telah
dinukilkan daripadanya oleh Imam al-Mawardi. Dan huruf-hurufnya pula
mestilah tidak kurang daripada huruf-huruf surah al-Fatihah, iaitu tidak
kurang dari seratus lima puluh enam huruf.
Tidak disyaratkan
setiap huruf pada ayatnya menyerupai jumlah setiap huruf pada ayat-ayat surah al-Fatihah, bahkan adalah memadai sebagai
syarat bahawa ianya adalah sekurang-kurangnya tujuh ayat dan huruf-hurufnya
secara keseluruhannya tidak kurang dari huruf-huruf surah al-Fatihah dengan
mengambil perhatian bahawa setiap huruf yang bersabdu dalam surah al-Fatihah
itu dikirakan sebagai dua huruf.
Ayat-ayat pengganti
dari al-Qur’an ini, menurut Imam an-Nawawi, boleh dibaca sama ada secara
tersusun dalam satu surah, ataupun dibaca bercerai-cerai
dari satu ataupun beberapa buah surah yang berlainan, sama ada makna ayat-ayat
tersebut ada kaitan antara satu dengan yang lain ataupun tidak, sungguhpun
orang itu hafal secara tersusun dalam satu surah.
Walau bagaimanapun,
Imam Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat, jika ianya dibaca secara bercerai-cerai
dengan tidak tersusun makna, orang itu mestilah berniat dengan niat qiraah
(membaca al-Qur’an) ketika membaca ayat yang bercerai-cerai itu kerana bacaan
yang seumpama itu tidak dinamakan al-Qur’an jika dilafazkan semata-mata tanpa
niat qiraah.
2. Jika langsung
tidak boleh membaca mana-mana ayat daripada al-Qur’an, maka bolehlah orang itu
menggantikannya dengan tujuh macam zikir sebagai ganti tujuh ayat surah
al-Fatihah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam
Ahmad:

Maksudnya: Telah datang
seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berkata kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya aku tidak mampu
mempelajari sesuatupun daripada al-Qur’an, maka ajarkanlah aku (bacaan) apa
yang memadai bagiku (selain) daripada al-Qur’an.
Lalu Baginda
Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: Bacalah:

(Maha
suci Allah, dan segala puji hanya bagi Allah, dan tiada tuhan selain
Allah, dan Allah Maha Besar, dan tiada daya serta tiada kekuatan kecuali dengan
(keupayaan dan kekuatan) Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar).
(Hadits riwayat
Imam Abu Daud dan Ahmad)
Dalam
hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengajarkan kepada orang tersebut lima macam zikir, dan ditambahkan lagi oleh
ulama sebagai mencukupi syarat tujuh macam zikir itu dengan dua macam zikir
lagi, iaitu:-

Maksudnya: Segala apa yang dikehendaki Allah pasti
berlaku.

Maksudnya: Dan segala apa yang tidak dikehendakiNya,
tidak akan berlaku.
Walau
bagaimanapun, menurut pendapat yang ashah (paling shahih), tidaklah
ditentukan mana-mana zikir untuk dibaca sebagai badal (ganti) surah
al-Fatihah itu. Adalah memadai sebagai syarat dengan memilih mana-mana tujuh
macam zikir dan mengulanginya atau menambahnya dengan zikir-zikir lain sehingga
huruf-hurufnya mencukupi kadar huruf surah al-Fatihah.
Selain zikir, boleh
juga surah al-Fatihah tersebut digantikan dengan doa. Imam Nawawi berpendapat
bahawa doa tersebut mestilah (wajib) doa-doa ukhrawi (yang berkaitan
dengan urusan akhirat), misalnya memohon syurga, keampunan, keredhaan Allah Subhanahu
wa Ta‘ala dan sebagainya dalam bahasa
Arab sehingga huruf-hurufnya mencukupi kadar huruf-huruf surah al-Fatihah. Jika
tidak pandai membacanya dalam bahasa Arab, maka bolehlah diterjemahkan doa
tersebut ke mana-mana bahasa yang dikuasainya.
Jika orang tersebut
tidak juga pandai membaca terjemahan doa ukhrawi, maka bolehlah membaca
doa-doa duniawi (yang berkaitan dengan urusan keduniaan), misalnya
memohon keselamatan dan sebagainya dalam bahasa Arab. Jika tidak pandai
membacanya dalam bahasa Arab, maka bolehlah ianya dibaca dalam mana-mana bahasa
yang dikuasainya sehingga huruf-hurufnya mencukupi kadar huruf-huruf surah
al-Fatihah.
Selain dibolehkan
memilih antara zikir ataupun doa ini, dibolehkan juga untuk mencampurkan
keduanya sepertimana yang dinukilkan dalam kitab Tuhfah al-Habib karangan
Syeikh Sulaiman al-Bujairimi.
3. Sungguhpun ada
keringanan untuk membaca terjemahan badal dari zikir dan doa dalam
sembahyang jika tidak pandai membacanya dalam bahasa Arab, perlu diingat di
sini bahawa al-Qur’an tidak boleh sekali-kali diterjemahkan ke dalam
bahasa lain dalam sembahyang. Ini kerana turunnya al-Qur’an itu dalam
bahasa Arab serta keindahan lafaz ayat serta susunannya adalah merupakan satu
mukjizat. Maka menterjemahkannya ke dalam bahasa lain akan merosakkan
keindahannya dan secara langsung akan mencacatkan, bahkan akan menghilangkan
nilai kemukjizatannya itu.
Kerana itulah
terjemahan al-Qur’an itu menurut Imam Khatib asy-Syarbini, tidak lagi dinamakan
al-Qur’an berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala
dalam surah Yusuf: ayat:2:

Tafsirnya: Sesungguhnya
Kami menurunkan Kitab itu sebagai Qur’an yang dibaca dengan bahasa Arab.
(Surah
Yusuf : Ayat:2)
4. Tidak
disyaratkan untuk berniat ketika membaca badal dari zikir mahupun doa
ini, akan tetapi jika ingin berniat juga maka tidak dibolehkan berniat selain
daripada meniatkan bahawa badal tersebut adalah sebagai pengganti bacaan
surah al-Fatihah semata-mata.
5. Sekiranya orang
tersebut mampu membaca sebahagian ayat surah al- Fatihah, maka tidak memadai
baginya mengulang-ulang ayat dari surah al-Fatihah yang dia tahu itu selagi
mana dia tahu membaca badal lain, sama ada dari al-Qur’an, zikir mahupun
doa.
Akan tetapi,
diberikan kepadanya keringanan untuk mengulangi ayat dari surah al-Fatihah yang
diketahuinya itu sehingga huruf-hurufnya mencukupi kadar keseluruhan
huruf-huruf surah al-Fatihah jika sekiranya orang tersebut langsung tidak
pandai membaca mana-mana badal dari al-Qur’an, zikir dan doa.
6. Orang yang mampu
membaca sebahagian surah al-Fatihah dan mampu membaca badal dari
al-Qur’an, zikir ataupun doa, maka wajib baginya membaca ayat surah al-Fatihah
tersebut di tempatnya, yakni wajib membacanya secara tertib mengikut tertib
susunan ayatnya.
Jika ayat surah
al-Fatihah yang diketahuinya itu adalah ayat keempat, maka wajib baginya
membaca badal sebagai ganti separuh pertama (ayat satu hingga tiga)
surah al-Fatihah dahulu, kemudian barulah membaca ayat surah al-Fatihah yang
diketahuinya itu (ayat keempat) dan kemudian membaca pula badal bagi
separuh terakhir surah al-Fatihah tersebut (ayat lima hingga tujuh).
Begitu juga halnya
jika surah al-Fatihah yang mampu dibacanya itu bercerai-cerai. Wajib baginya membaca
ayat-ayat surah al-Fatihah yang diketahuinya itu mengikut tertib susunan
ayatnya, dan wajib pula membaca badalnya tepat pada ayat surah
al-Fatihah yang dia tidak tahu membaca itu.
7. Jika sekiranya
langsung tidak pandai membaca surah al-Fatihah, dan tidak tahu pula membaca
mana-mana badal dari al-Qur’an, zikir mahupun doa, dan tidak juga pandai
membaca terjemahan zikir dan doa serta tidak berkemampuan untuk belajar, maka
wajib atasnya qiyam (berdiri) sahaja dalam kadar bacaan surah
al-Fatihah, iaitu kira-kira kadar bacaan yang sederhana.
Ini kerana bacaan
surah al-Fatihah dan berdiri ketika membacanya itu kedua-duanya wajib, maka
jika tidak mampu mengerjakan satu daripada keduanya (membaca surah al-Fatihah)
tidak akan menggugurkan kewajiban yang satu lagi iaitu berdiri.
Penutup
Kesungguhan dalam
membaca surah al-Fatihah dalam sembahyang itu adalah satu perkara yang sangat
penting dan wajib dijaga kerana sebarang kesilapan yang berlaku tidak syak lagi
akan menjejaskan kesempurnaan sembahyang.
Janganlah kerana
surah ini lancar di mulut ianya dibaca secara tidak berperaturan dengan tidak
menyebutkan setiap hurufnya daripada makhrajnya yang betul, tidak memelihara
tajwidnya, bahkan ada yang menghabiskannya hanya dengan satu nafas seolah-olah
tiada penghayatan dan tiada rasa hormat terhadap al-Qur’an.
Wajiblah ke atas kita
memelihara kemuliaan al-Qur’an ini, dengan membacanya sepertimana Nabi
junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam membacanya.
Iaitu dengan tartil, penuh penghayatan, memelihara tajwid serta
peraturan-peraturannya seperti muwalah, tertib dan sebagainya, di
samping berusaha belajar dan memperbaiki bacaan jika tidak mampu membacanya
dengan baik dan sempurna.
Mudahan-mudahan
dengan maklumat mengenai permasalahan membaca surah al-Fatihah dalam sembahyang
ini akan dapat menambahkan ilmu kita mengenai sembahyang dan sekaligus
membantu kita untuk menyempurnakannya sepertimana yang dituntut oleh syara‘ dan
meningkatkan lagi kualiti peribadatan kita terhadap Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Diambil dari Ustaz
Usop IPK KN.
No comments:
Post a Comment